cari saja

home

WeLLcOme To My MiNd

BuKa.... LiHaT....BaCa.....

Minggu, 30 Oktober 2011

MENULIS PARAGRAF DESKRIPTIF DENGAN MEDIA GAMBAR

1. Menulis Paragraf Deskriptif
Menulis paragraf deskriptif sebagai salah satu aspek kebahasaan sebenarnya sangat perlu dalam kehidupan sehari-hari. Menulis deskripsi tidak hanya karena tuntutan akademik saja, akan tetapi juga karena tuntutan kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari. Secara tidak langsung sebenarnya kita sering menulis paragraf deskriptif tentang sesuatu atau peristiwa. Ketika kita sedang jatuh cinta misalnya, kita sering menggambarkan orang yang kita taksir dengan pilihan kata yang tepat. Umumnya para pria akan memaparkan ciri-ciri spesifik gadis yang disukainya, misalnya tentang rambut, senyum, raut muka, kebiasaan, bentuk tubuh, dan lain sebagainya. Gambaran tentang semua ini sebenarnya adalah deskripsi yang memudahkan orang lain membayangkan profil obyek sesungguhnya.
Akan tetapi, ketika para siswa disuruh membuat paragraf deskriptif, umumnya mereka akan mengalami hambatan karena terbentur oleh sejumlah konsep dan aturan-aturan yang harus dipahami atau diataati. Siswa harus menulis paragraf deskriptif sesuai sistematika yang diberikan guru. Kadangkala contoh paragraf deskriptif yang diberikan juga sangat abstrak dan sama sekali tidak dikenal oleh siswa. Bagaimana mungkin siswa bisa membayangkan deskripsi pinguin misalnya, karena mereka jarang atau hampir tidak pernah melihat obyek atau gambar pinguin sesungguhnya. Lain halnya bila siswa ditugaskan membuat gambaran tentang kepala sekolah yang emosional, pasti dengan dengan cepat mereka akan dapat menulis paragraf deskriptif dengan gayanya sendiri.
Kendala dalam penulisan paragraf deskriptif sebenarnya dapat diatasi dengan bantuan alat media, misalnya media gambar. Kalau siswa ditugaskan membuat paragraf deskripsi tentang kucing misalnya, mereka pasti akan lebih mudah menyelesaikan paragraf tersebut apabila disediakan juga gambar kucing yang menarik. Siswa lebih mudah memaparkan gambaran atau segala seluk-beluk kucing karena adanya media yang tersedia. Siswa akan dengan mudah menggambarkan bentuk matanya, warna matanya, bentuk telinganya, bentuk kakinya, bentuk ekornya, kebiasaannya, makanannnya, tempat tinggalnya, tingkah-lakunya, dan seterusnya.
Penggunaan media gambar dalam pembuatan paragraf deskriptif sebenarnya sejalan dengan model pembelajaran konstekstual (contextual learning) yang berkembang saat ini. Media gambar secara tidak langsung telah “membawa” siswa ke dalam kehidupan/gambaran obyek/peristiwa sesungguhnya karena media gambar mampu mempresentasikan obyek/peristiwa yang sesungguhnya. Media gambar juga membantu siswa dalam menuliskan paragraf deskriptif apabila peristiwa/obyek yang akan digambarkan tidak tersedia di lingkungan siswa. Misalnya saja para siswa di Yogyakarta hendak menggambarkan kemacetan kota Jakarta, mereka pasti akan lebih mudah menuliskannya dalam paragraf deskriptif kalau tersedia gambar kemacetan kota tersebut.

2. Ciri-ciri Paragraf Deskriptif
Paragraf deskriptif sebagai salah satu jenis paragraf populer memiliki beberapa ciri. Ciri-ciri tersebut cukup membedakan paragraf tersebut dari jenis paragraf lainnya. Berikut ini adalah ciri-ciri paragraf deskriptif.
a. Menggambarkan sesuatu secara rinci, bagian demi bagian.
b. Menggunakan pola urutan tertentu.
c. Mengungkapkan pengalaman rasional atau pengalaman emosional, atau keduanya sebagai hasil penginderaan.
d. Berusaha menghadirkan sesuatu peristiwa atau hal tertentu di hadapan pembaca.

Agar peristiwa atau hal yang digambarkan semakin jelas dan terinci, maka penggunaan media, khususnya media gambar sangat direkomendasikan. Penggunaan media gambar akan cukup membantu siswa dalam menggambarkan peristiwa/hal yang dituliskannya.



2. Jenis Paragraf Deskripsi Berdasarkan Tujuannya
Menurut Keraf, berdasarkan tujuannya karangan deskripsi dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Deskripsi Sugestif
Deskripsi sugestif bertujuan menciptakan sebuah pengalaman pada diri pembaca. Dikatakan pengalaman karena berkenalan langsung dengan obyeknya. Pengalaman atas objek itu harus menciptakan sebuah kesan atau interpretasi. Sasaran deskriptif sugestif adalah dengan perantaran rangkaian kata-kata yang dipilih oleh penulis untuk menggambarkan ciri, sifat, dan watak dari obyek tersebut dapat diciptakan sugesti tertentu pada pembaca.

b. Deskripsi Ekspositoris atau Deskripsi Teknis
Deskripsi ekspositoris atau deskripsi teknis hanya bertujuan untuk memberikan identifikasi atau informasi mengenai obyeknya. Dengan demikian pembaca dapat mengenalnya bila bertemu atau berhadapan dengan obyek tadi.

3. Contoh-contoh Paragraf Deskriptif

Budi memang anak malas. Dia jarang mandi atau menggosok gigi. Akibatnya giginya tampak kuning dan mulutnya bau. Dia juga jarang mengganti baju yang dikenakannya. Dia juga pernah tidak mengganti bajunya selama tiga hari. Kamarnya penuh dengan sobekan kertas dan mainan yang berantakan. Setiap harinya dia hanya main layang-layang dan malas mengerjakan tugas. Pagi hari dia sering bangun kesiangan. Bahkan tidak jarang dia bangun pukul 07.30 sehingga dia sering terlambat ke sekolah. Dia bahkan pergi ke sekolah tanpa mandi dan menyisir rambut. Penampilannnya sungguh-sungguh mencerminkan pribadinya yang malas.



Berikut ini adalah contoh paragraf deskriptif dengan media gambar. Gambar tersebut diambil dari http://www.yogyes.com/, Potongan gambar ini memprersentasikan situasi Pantai Parangtritis Bantul Yogyakarta. Pantai Parangtritis.

Pantai Parangtritis sebagai salah satu daerah wisata di Yogyakarta merupakan daerah yang selalu dikunjungi oleh wisatawan domestik dan mancanegara. Keindahan Parangtritis seakan membius para wisatawan untuk datang ke sana. Parangtritis memiliki pasir yang putih bersih, udara yang sejuk, letaknya strategis, dan aman. Di sana-sini terhampar pondok-pondok warung tradisional tempat para wisatawan untuk menikmati hembusan angin serta makanan dan minuman kecil. Para pengelola warung dengan senyum bersahabat menawarkan makanan dan minuman dengan harga yang cukup bersaing. Penduduk setempat juga banyak menawarkan jasa penitipan kendaraan dan barang-barang lainnya. Ada juga yang menyewakan bendi sebagai transportasi alternatif untuk menyisiri pantai. Dengan ditemani oleh seorang pemandu, segala seluk-beluk Pantai Parangtritis akan semakin jelas kita tahu. Dalam setiap bendi bisa muat empat orang sehingga satu kelaurga bisa naik bendi bersama-sama untuk menikmati pemandangan alam.
Selain itu, banyak orang yang menjual layang-layang dengan harga terjangkau. Bentuk layang-layang sangat bervariasi baik dalam bentuk maupun ukuran. Ada layang-layang berbentuk pesawat, kuda, baju, dan bentuk-bentuk kreatif lainnya dengan warna yang beragam. Kita bisa berlomba bermain layang-layang walaupun hembusan angin tidak stabil. Kalau kita lupa membawa kamera, kita bisa meminta jasa fotografer untuk mengabadikan momen di Pantai Parangtritis.

ketika hanya ada sedikit waktu luang : kisah pena dan kertas

Di sebuah ruang baca ada seorang penulis yang sangat rajin menuangkan ide-idenya ke dalam kertas melalui goresan pena dengan kata-kata yang indah. Penulis itu mulai menulis pada waktu pagi hari hingga menjelang malam karena di malam hari penulis itu akan pergi beristirahat. Di dalam ruang baca itu tinggalah sekumpulan peralatan sekolah termasuk pena dan kertas. Di dalam ruang baca tersebut tidak pernah sekalipun terjadi kerusuhan antara pena, kertas, pensil, penghapus dan juga tipeX. Namun bermula dari ucapan kertas yang sombong menyalahkan si pena.
“ Hai pena jelek!!” panggil kertas marah.
Karena kertas mengatakannya dengan nada yang tinggi dan keras maka penapun membalas ucapan si kertas.
“ Apa kamu bilang? Aku jelek? Apa maksud ucapanmu?” Balas si pena.
“Apa kamu tahu pena? Aku sangat tidak suka jika kamu mengotori tubuhku yang putih dan bersih ini!!” sahut kertas semakin meninggi.
“ Asal kamu tahu ya kertas, aku juga tidak pernah sudi menumpahkan setiap cairan tinta yang aku punya ke tubuh bersihmu yang kau banggakan itu, dan ingat satu hal tanpa cairan tinta dariku tubuhmu tak akan berharga!!” Ucap pena ketus.
Mendengar pertengkaran itu penggaris yang bijaksana berkata
“Apa yang sebenarnya kalian permasalahkan? Bukankah kita hidup memang untuk saling melengkapi?” katanya.
Penghapus dan pensilpun ikut menjadi penengah di dalamnya, mereka berkata
“Ya, benar apa yang dikatakan oleh penggaris, kertas! seharusnya kamu berterimaksih terhadap si pena karena tanpa cairan tintanya kamu tidak akan berharga, kamu hanya akan menjadi pajangan seperti barang tua yang tidak berguna”, kata penghapus.
“Benar pena juga seharusnya tidak bersikap seperti itu, karena jika tidak ada kertas, kemana lagi akan kamu tumpahkan cairan tintamu itu? jika kau biarkan saja cairan tintamu di dalam tubuhmu maka cairan itu akan membusuk dan kamupun takkan berguna,” kata pensil.
Keadaan semakin tak karuan dimana kumpulan pena mulai terus bersikap acuh terhadap si kertas begitu juga sebaliknya. Ruangan yang tadinya sangat tenang menjadi sangat tegang karena tak ada yang mau mengalah antara kubu pena dan juga kubu kertas.
Hingga akhirnya kursi dan mejapun ikut mengeluarkan pendapatnya.
“Bukankah kita hidup di ruangan seperti ini sudah sangat menyenangkan? berkumpul bersama, saling memanfaatkan, dan saling berbagi, lalu mengapa kalian masih saja meributkan hal-hal yang tak berguna seperti itu?” tanya kursi.
“Benar apa yang dikatakan kursi sebaiknya kita saling memanfaatkan dan menerima bahwa memang beginilah takdir kita, harus saling berkorban karena hanya dengan itulah kita dapat menjadi berharga dan barguna bagi manusia!” kata meja.
Suasana menjadi sedikit terasa tenang setelah mendengar ucapan dari yang ada di ruang baca tersebut.
Akhirnya si pena pun menyadari kesalahannya begitu juga si kertas. Mereka menyadari bahwa mereka ternyata begitu egois.
“Maaf ya pena, ternyata aku baru sadar memang benar apa yang teman-teman bilang tadi, mungkin aku tak akan berguna bila hanya di letakkan di atas rak buku yang nantinya akan berdebu. Mungkin aku akan sangat berguna bila aku mau memberikan tubuhku untuk cairan tinta si pena sehingga akupun tak akan berdebu dan akan tetap berguna”. Kata kertas menyesali perbuatannya tadi.
Tak kalah dengan kertas pena yang tadinya bersikap sangat keras dan kasar menjadi sangat tenang dan berbesar hati mengakui kesalahannya yang tadi dia lakukan.
“Ya aku juga mengaku salah, aku minta maaf sama kamu ya kertas tadi bicaraku terlalu berlebihan aku hanya emosi saja” kata pena menyesal.
“Tidak apa-apa, sama saja!hahahhahaaaaa.
“Akhirnya semuanya tenang kembali ya, berarti dah nggak akan ada lagi yang merasa dirinyalah yang paling berguna ok!kata penghapus dibarengi dengan senyuman.
Pada akhirnya semua yang ada di ruang baca tertawa bergembira.

Berbahasa Santun


A. Santun Berbahasa
Dalam buku Berbahasa Secara Santun (Pranowo: 2009) dibahasa mengenai kesantunan dalam berbahasa. Struktur bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh penutur atau penulis agar tidak menyinggung perasaan pendengar atau pembaca. Bahasa yang benar adalah bahasa yang dipakai sesuai dengan kaidah yang berlaku. Seseorang sedang berkomunikasi dalam situasi tidak resmi, mereka menggunakan kaidah bahasa tidak resmi. Ketika seseorang sedang menulis karya ilmiah untuk makalah, skripsi, tesis, atau disertasi mereka menggunakan kaidah bahasa baku. Jika penulis sedang memerankan tokoh pejabat, maka bahasa yang digunakan adalah kaidah bahasa resmi.
Masih ada satu kaidah lagi yang perlu diperhatikan yaitu kesantunan. Ketika seseorang sedang berkomunikasi, hendaknya disampaikan baik dan benar juga santun. Kaidah kesantunan dipakai dalam setiap tindak bahasa. Agar pemakaian bahasa terasa semakin santu, penutur dapat berbahasa menggunakan bentuk-bentuk tertentu yang dapat dirasa sebagai bahasa santun, seperti:

1. Menggunakan tuturan tidak langsung biasanya terasa lebih santun jika dibandingkan dengan tuturan yang diungkapkan secara langsung.
2. Pemakaian bahasa dengan kata-kata kias terasa lebih santun dibandingkan dengan pemakaian bahasa dengan kata-kata ligas.
3. Ungkapan memakai gaya bahasa penghalus terasa lebih santun dibandingkan dengan ungkapan biasa.
4. Tuturan yang dikatakan berbeda dengan yang dimaksud biasanya tuturan lebih santun
5. Tuturan yang dikatakan secara implisit biasanya lebih santun dibandingkan dengan tuturan yang dikatakan secara eksplisit.

Terlepasa dari tuturan santun dan tidak santun, keduanya adalah tindakan komunikasi. Dalam setiap tindakan komunikasi dapat gagal dan dapat berhasil mencapai tujuan. Gagalnya komunikasi dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:

1. Mitra tutur tidak memiliki informasi lama mengenai pokok masalahyang dibicarakan.
2. Mitra tutur tidak tertarik dengan informasi penutur.
3. Mitra tutur tidak berkenan dengan cara yang digunakan untuk menyampaikan informasi penutur.
4. Apa yang diinginkan oleh penutur tidak dimiliki oleh mitra tutur.
5. Mitra tutur tidak memahami pesan yang dimaksud oleh penutur.
6. penutur terkendala kode etik dalam bertutur.
Sebaliknya,komunikasi akan berhasil apabila didukung oleh beberapa faktor, seperti:
1. Ada kesepahaman topik yang dibicarakan antara penutur dengan mitra tutur.
2. Ada kesepahaman bahasa yang digunakan oleh penutur kepada mitra tutur.
3. Mitra tutur tertarik dengan pesan yang disampaikan oleh penutur.
4. Penutur dan mitra tutur sama-sama dalam konteks dan situasi yang sama.
5. Praanggapan penutur terhadap mitra tutur benar.
6. Penutur mahir memanfaatkan daya bahasa yang menjadikan komunikasi lebih efektif.

a. Alasan Berbahasa secara Santun
Bahasa merupakan alat komunikasi, berkomunikasi merupakan interaksi antara penutur dengan mitra tutur. Ada tiga hal penting ketika penutur berinteraksi dengan mitra tutur. Pertama, mitra tutur diharapkan dapat memahami maksud yang disampaikan oleh penutur. Kedua, setelah mitra tutur memahami maksud penutur, mitra tutur akan mencari aspek tuturan yang lain. Ketiga, tuturan penutur kadang-kadang juga disimak oleh orang lain (orang ketiga) yang sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan komunikasi antar penutur dengan mitra tutur.
Berbahasa dan berprilaku santun merupakan kebutuhan setiap orang, bukan sekedar kewajiban. Seseorang berbahasa dan berprilaku santun sebenarnya lebih dimaksudkan sebagai wujud aktualisasi diri. Setiap orang harus menjaga kehormatan dan martabat diri sendiri. Hal ini dimaksudkan agar orang lain juga mau menghargainya. Inilah hakikat berbahasa secara santun.

b. Cara Berbahasa Santun
Santun tidaknya pemakaian bahasa dapat dilihat setidaknya dari dua hal, yaitu pilihan kata (diksi) dan gaya bahasa. Pilihan kata yang dimaksud adalah ketepatan pemakaian kata untuk mengungkapkan makna dan maksud dalam konteks tertentu sehingga menimbulkan efek tertentu pada pada mitra tutur. Setiap kata, di samping memiliki makna tertentu juga memiliki daya (kekuatan) tertentu.
Kesanggupan menggunakan gaya bahasa seorang penutur dapat terlihat tingkat kesantunannya dalam berkomunikasi. Ada beberapa gaya bahasa yang dapat digunakan untuk melihat santun tidaknya pemakaian bahasa dalam bertutur yaitu:

1. Majas Hiperbola
Yaitu salah satu jenis gaya bahasa perbandingan yang memperbandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain secara berlebihan.
2. Majas Perumpamaan
Yaitu salah satu jenis gaya bahasa perbandingan yang membandingkan dua hal yang berlainan, tetapi dianggap sama.
3. Majas Metafora
Yaitu salah satu jenis gaya bahasa perbandingan maupun menambah daya bahasa tuturan.
4. Majas Eufemisme
Yaitu salah satu jenis gaya bahasa perbandingan yang membandingkan dua hal dengan menggunakan pembanding yang lebih halus.

c. Maksim-Maksim Kesantunan
Tarigan (1990) via Rahardi (2003) telah menerjemahkan maksim-maksim di dalam prinsip kesantunan berbahasa yang disampaikan oleh Leech (1983) di atas secara berturut-turut sebagai berikut:

1. Maksim Kebijaksanaan
Kurangi kerugian orang lain
Tambahi keuntungan orang lain
2. Maksim Kedermawanan
Kurangi keuntungan diri sendiri
Tambahi pengorbanan diri sendiri
3. Maksim Penghargaan
Kurangi keuntungan diri sendiri
Tambahi pengorbanan diri sendiri
4. Maksim Kesederhanaan
Kurangi pujian pada diri sendiri
Tambahi cacian pada diri sendiri
5. Maksim Permufakatan
Kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.
Tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.
6. Maksim Simpati
Kurangi antipati antara dri sendiri dengan orang lain
Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain
(Tarigan, 1990: 82-83)

d. Prinsip Kesantunan
Menurut Rahardi (2006: 66) sedikitnya ada tiga macam skala pengukuran peringkat kesantunan yang sampai dengan saat ini banyak digunakan sebagai dasar acuan dalam penelitian kesantunan. Dalam prinsip kesantunan tiga skala pengukuran tersebut adalah
1. Skala kesantunan menurut Leech
2. Skala kesantunan menurut Brown and Levinson
3. Skala kesantunan menurut Robin Lakoff.

e. Kesantunan Linguistik Tuturan Imperatif
Menurut Rahardi (2006: 118) kesantunan linguistik tuturan Imperatif dalam bahasa Indonesia mencakup empat hal yaitu:
1. Panjang-pendek tuturan
2. Urutan tuturan
3. Intonasi tuturan dan isyarat-isyarat kinesik
4. Pemakaian ungkapan penanda kesantunan

f. Kesantunan Kalimat
Ninik dalam bukunya yang berjudul Cermat dalam Berbahasa Teliti dalam Berfikir (2007:142) mengatakan bahwa ada beberapa hal yang membuat sebuah kalimat menjadi santun. Diantaranya adalah:
1. Kehematan
Gagasan yang tercantum dalam kalimat sering kali tidak tersampaikan karena penggunaan kata yang boros. Sehingga semakin hemat kita memakai kata akan semakin santun.
2. Kecermatan
Prinsip berarti cermat dan tepat menggunakan diksi. Agar tercapai kecermatan dan ketepatan diksi. Yang perlu dihindari adalah penanggalan awalan, peluluhan bunyi /c/, bunyi /s/, /p/, /t/, dan /k/ yang idak luluh, dan hindari pemakaian kata ambiggu.
3. Kesejajaran
Agar kalimat terlihat rapi dan bermakna sama, kesejajaran dalam kalimat diperlukan. Kesejajaran adalah penggunaan bentuk-bentuk yang sama pada kata-kata yang berpararael.

4. Keharmonisan
Keharmonisan adalah satuan bahasa terkecil, dalam wujud lisan atau tulisan, yang menggungkapkan pikiran secara utuh, memiliki unsur gramatikal terdapat subjek dan predikat, serta memiliki kesenyapan. Keharmonisan kalimat artinya setiap kalimat yang kita buat harus harmonis antara pola berfikir dan struktur bahasa.
5. Kelogisan
Kelogisan berhubungan dengan bernalar atau tidaknya sebuah kalimat. Kelogisan bisa terjadi karena isi kalimat atau struktur kalimat yang dibangun.

g. Penentu Kesantunan
a. Faktor Penentu Kesantunan
Faktor kesantunan adalah segala hal yang dapat memengaruhi pemakaian bahasa menjadi santun atau tidak santun. Faktor kesantunan dari aspek kebahasaan dapat diidentifikasi sebagai berikut. Aspek penentu kesantunan dalam bahasa verbal lisan, antara lain aspek intonasi, aspek nada bicara, faktor pilihan kata, dan faktor struktur kalimat.
Dalam bahasa lisan, kesantunan juga dipengaruhi oleh faktor bahasa nonverbal, seperti gerak gerik anggota tubuh, kerlingan mata, gelengan kepala, acungan tanggan, kepalan tangan, tangan kerkacak pinggang, dan sebagainya. Faktor penentu kesantunan yang dapat diidentifikasi dari bahasa verbal tulis, seperti pilihan kata yang berkaitan dengan nilai rasa, panjang pendeknya struktur kalimat, ungkapan, gaya bahasa, dan sebagainya.
Faktor penentu kesantunan dari aspek nonkebahasaab berupa pranata sosial budaya masyarakat, pranata adat, seperti jarak bicara antara penutur dan mitra tutur dan sebagainya.
b. Faktor yang dapat Menggagalkan Komunikasi
Banyak faktor yang menyebabkan komunikasi dapat gagal, antara lain: (a) mitra tutur tidak memiliki informasi lama sebagai dasar memahami informasi baru yang disampaikan penutur, (b) mitra tutur tidak tertarik dengan isi informasi yang disampaikan penutur, (c) mitra tutur tidak berkenan dengan cara menyampaikan informasi si penututur, (d) apa yang diinginkan memang tidak ada atau tidak dimiliki oleh mitra tutur, (e) mitra tutur tidak memahami yang dimaksud oleh penutur, dan (f) jika menjawab pertanyaan, mitra tutur justru melanggar kode etik.
c. Faktor Kebahasaan sebagai Penanda Kesantuna
Faktor yang menentukan santun tidaknya pemakaian bahasa ditentukan oleh dua hal, yaitu faktor kebahasaan, dan faktor non-kebahasaa. Faktor kebahasaan yang dimaksud adalah segala unsur yang berkaitan dengan masalah bahasa, baik bahasa verbal maupun bahasa nonverbal. Faktor kebahasaan verbal yang dapat menentukan kesantunan dapat dideskripsikan sebagai berikut. (1) pemakaian diksi, (2) Pemakaian gaya bahasa (majas metafora, majas personifikasi, majas peribahasa, majas perumpamaan).
d. Faktor Nonkebahasaab sebagai Penentu Kesantunan
Ketikka orang berkomunikasi, penutur tidak hanya melibatkan faktor bahasa. Faktor-faktor nonkebahasaan juga ikut menentukan kesantunan. (1) topik pembicaraan, (2) konteks situasi komunikasi.

h. Indikator Kesantunan Berbahasa Indonesia
Indikator adalah penanda yang dapat dijadikan penentu apakah pemakaian bahasa Indonesia si penutur itu santun ataukah tidak. Penanda-penanda tersebut dapat berupa unsur kebahasaan maupun unsur nonkebahasaan.
1. Indikator Kesantunan Menurut Dell Hymes (1978)
(1) mengacu pada tempat dan waktu terjadinya komunikasi, (2) mengacu pada orang yang terlibat komunikasi, (3) mengacu pada tujuan yang ingin dicapai pada komunikasi, (4) mengacu pada bentuk dan pesan yang ingin disampaikan, (5) mengacu pada pelaksanaan percakapan, (6) mengacu pada norma prilaku partisipan dalam berkomunikasi, dan (7) mengacu pada ragam santai dan sebagainya.

2. IndikatorKesantunan Menurut Grace (2000)
Grace (2000: 362) menyatakan bahwa santun tidaknya pemakaian bahasa dapat ditandai dengan beberapa hal sebagai berikut. (1) ketika berbicara harus mampu menjaga martabat mitra tutur agar tidak merasa dipermalukan, (2) ketika berkomunikasi tidak boleh mengaakan hal-hal yang kurang baik mengenai mitra tutur atau orang atau barang yang ada kaitannya dengan mitra tutur, (3) tidak boleh mengungkapkan rasa senang atas kemalangan mitra tutur, (4) tidak boleh menyatakan ketidaksetujuan dengan mitra tutur sehingga mitra tutur merasa jatuh harga dirinya, dan (5) tidak boleh memuji diri sendiri atau membanggakan nasib baik atau kelebihan diri sendiri.

3. Indikator Kesantunan Menurut Leech (1983)
Leech memandang prinsip kesantunan sebagai ”piranti” untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya (implikatur). Meski tidak mengunakna implikatur, tuturan dapat dikatakan santun, jika ditandai dengan hal-hal sebagai berikut. (1) tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur (maksim kebijaksanaan), (2) tuturan lebih baik menimbulkan kerugian pada penutur (maksim kedermawanan), (3) tuturan dapat memberikan pujian kepada mitra tutur (maksim pujian), (4) tturan tidak memuji diri sendiri (maksim kerendah hatian), (5) tuturan dapat memberikan persetujuan kepada mitra tutur (maksim kesetujuan), (6) tuturan dapat mengungkapkan rasa simpati terhadap yang dialami oleh mitra tutur (maksim simpati), dan (7) tuturan dapat mengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang pada mitra tutur (maksim pertimbangan)

4. Indikator Kesantunan Menurut Pranowo
Indikator lain dikemukakan oleh Pranowo (2005) bahwa agar komunikasi dapat terasa santun, tuturan ditandai dengan hal-hal berikut. (1) perhatikan suasana perasaan mitra tutur (angon rasa), (2) pertemukan perasaan Anda dengan perasaan mitra tutur (angon rasa), (3) jagalah agar tuturan dapat diterima oleh mitra tutur (empan papan), (4) jagalah agar tuturan memperlihatkan rasa ketidakmampuan penutur dihadapan mitra tutur (sifat rendah hati), (5) jagalah agar tuturan memperlihatkan mitra tutur diposisii lebih tinggi 9sikap hormat), dan (6) jagalah agar tuturan selalu memperhatikan apa yang dikatakan kepada mitra tutur juga dirasakan oleh penutur (sikap tepa selira)

5. Implementasi Indikator Kesantunan dalam Pemakaian Bahasa
secara teoritis, semua orang harus berbahasa secara santun. Setiap orang wajib menjaga etika dalam berkomunikasi agar tujuan komunikasi dapat tercapai. Bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi dan saat menggunakan bahasa juga harus memerhatikan kaidah-kaidah berbahasa baik kaidah linguistik maupun kaidah kesantunan agar tujuan berkomunikasi dapat tercapai.

6. Cara Menyampaikan Maksud
Bebrapa cara menyampaikan maksud agar tuturan dapat dikatakan santun dapat dijelaskan sebagai berikut. (1) rasa nrima (menerima keadaan seperti adanya), (2) sikap ngalah demi rasa solidaritas, (3) sikap ngalah demi rasa hormat, (4) sikap tenggang rasa, (5) sikap empan papan (menyesuaikan diri dengan waktu dan tempat).

i. Nilai-nilai Pendukung Kesantunan Berbahasa
Dalam berkomunikasi dengan santun, ada beberapa nilai-nilai etnis yang dapat diterima oleh seluruh atau sebagian besar masyarakat etnis lain dan dapat diserap untuk menumbuh kembangkan kesantunan berbahasa. Yaitu, (a) sikap rendah hati, (b) sikap empan papan, (c) sikap menjaga perasaan, (d) sikap mau berkorban, (e) sikap mawas diri. Dengan nilai-nilai ini diharapkan tercipta hubungan harmonis antar sesama.

j. Diksi atau Pilihan Kata
Pegertian diksi atau pilihan kata jauh lebih luas dari pada apa yang dipantulkan oleh jalinan kata-kata itu. Menurut Keraf dalam bukunya yang berjudul Diksi dan Gaya Bahasa (1984:22-23), ada tiga kesimpulan utama mengenai diksi atau pilihan kata. Pertama, pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokkan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Kedua, pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Ketiga, pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosa kata atau perbendaharaan kata bahasa itu.

k. Gaya Bahasa
1. Pengertian Gaya Bahasa
Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin slilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Walaupun kata sytle berasal dari bahasa Latin, orang Yunani sudah mengembangkan sendiri teori-teori mengenai style itu. Ada dua aliran yang terkenal, yaitu: Aliran Platonik: menganggap syle sebagai kualitas suatu ungkapan ; menurut mereka ada ungkapan yang memiliki style, ada juga yang tidak memiliki style dan Aliran Aristoteles: menganggap bahwa gaya adalah suatu kualitas yang inheren, yang ada dalam tiap uangkapan.
Akhirnya style atau gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa)
2. Sendi Gaya Bahasa
Syarat-syarat manakala yang diperlukan untuk membedakan suatu gaya bahasa yang baik dari gaya bahasa yang buruk. Dalam sebuah gaya bahasa mengandung tiga unsur yaitu: kejujuran, sopan santun, dan menarik.

Berita :Memahami wacana lisan melalui kegiatan mendengarkan berita




Standar Kompetensi : Mendengarkan
1. Memahami wacana lisan melalui kegiatan mendengarkan berita.
Kompetensi Dasar :
1.1. Menyimpulkan isi berita yang dibacakan dalam beberapa kalimat.
Materi pokok : Mendengarkan berita (mengetahui definisi, unsur, dan jenis berita).


a. Definisi Berita
Menurut Djuraid (2007: 9), berita merupakan sebuah laporan atau pemberitahuan mengenai terjadinya sebuah peristiwa atau kejadian yang bersifat umum, dan baru saja terjadi yang disampaikan oleh wartawan di media massa. Menurut Suhandang (1978), berita adalah laporan tentang sesuatu yang memperhatikan kemanusiaan yang disampaikan tepat pada waktunya, dan berita yang paling baik adalah yang menarik perhatian sebagian besar pembaca. Dalam menulis berita, informasi yang diberikan kepada khalayak harus menarik pembaca. Dengan demikian, informasi yang disampaikan akan diterima oleh pembaca.

Menurut Darmadi, dkk. (2006: 23), berita adalah segala sesuatu yang hangat, menarik perhatian pembaca, dan berita yang terbaik adalah berita yang paling menarik bagi pembaca terbesar. Romli (2005: 3) mengatakan bahwa berita merupakan sajian utama sebuah media massa di samping views (opini).
Sejalan dengan Suhandang, Paul De Massenner dalam bukunya yang berjudul Here’s The News (Sumadiria, 2008: 64), juga mengatakan bahwa berita merupakan sebuah informasi yang penting dan menarik perhatian serta minat khalayak pendengar. Berbeda dengan Charnley dan James M. Neal yang menuturkan berita adalah laporan tentang sesuatu peristiwa, opini, kecenderungan, situasi, kondisi, interpretasi yang penting menarik, masih baru, dan harus secepatnya disampaikan kepada khalayak (Sumadiria, 2008: 64).

William S. Maulsby dalam Getting the News dalam Sumadiria (2008: 64) juga menegaskan hal yang sama tentang berita. Menurutnya, berita bisa didefinisikan sebagai suatu penuturan secara benar dan tidak memihak dari fakta-fakta yang mempunyai arti penting dan baru saja terjadi, yang dapat menarik perhatian pembaca surat kabar yang memuat berita tersebut.

b. Unsur dalam berita
Untuk membuat sebuah berita menjadi menarik haruslah memiliki beberapa unsur. Para ahli publisistik dan jurnalis (Assegaff, 1991: 25), mengatakan bahwa ada beberapa unsur yang membuat sebuah berita dapat menarik perhatian pembaca. Unsur tersebut yaitu, (1) berita itu haruslah termasa (baru), (2) jarak (dekat jauhnya) lingkungan yang terkena oleh berita, (3) penting (ternama) tidaknya orang yang diberitakan, (4) keluarbiasaan dari berita, (5) akibat yang mungkin ditimbulkan oleh berita itu, (6) ketegangan yang diakibatkan oleh berita itu, (7) pertentangan (conflict) yang terlihat dalam berita, (8) seks yang ada dalam pemberitaan, (9) kemajuan-kemajuan yang diberitakan, (10) emosi yang ditimbulkan oleh berita itu, dan (11) humor yang ada di dalam berita.
Untuk menemukan pokok-pokok informasi mengenai berita yang diperdengarkan, hendakanya kita perlu mengetahui beberapa unsur dalam berita tersebut. Unsur-unsur berita diantaranya adalah sebagai berikut:

1) What (apa): apa yang terjadi di dalam berita?
2) Who (siapa): siapa yangterlibat di dalamnya?
3) Where (dimana): dimana terjadinya peristiwa tersebut?
4) When (kapan): kapan terjadinya peristiwa tersebut?
5) Why (mengapa); mengapa peristiwa tersebut?
6) How (bagaimana): bagaimana peristiwa itu terjadi?

Berita yang lengkap maka mengandung enam unsur di atas. Dalam prakteknya kadang tidak semua unsur dimasukkan dalam berita. Hal itu terjadi mungkin karena keterbatasan waktu dan ruang. Biasanya unsur itu di rumuskan menjadi 5W+1H.
Dalam setiap peristiwa yang dilaporkan, harus terdapat enam unsur dasar yakni, apa (what), siapa (who), kapan (when), di mana (where), mengapa (why), dan bagaimana (how). What berarti peristiwa apa yang akan dilaporkan kepada khalayak. Who berarti siapa yang menjadi pelaku dalam peristiwa berita itu. When berarti kapan peristiwa itu terjadi: tahun, bulan, minggu, hari, jam, dan menit. Where berarti di mana peristiwa itu terjadi. Why berarti mengapa peristiwa itu bisa terjadi. How berarti bagaimana jalannya peristiwa atau bagaimana cara menanggulangi peristiwa tersebut.
Sumadiria (2008) juga mengatakan bahwa dalam konteks Indonesia, para praktisi jurnalistik sering menambahkan satu unsur lagi yaitu, aman (safety (S)), sehingga rumusan unsurnya menjadi 5W+1H (1S). Hal itu dimaksudkan agar berita apapun yang dimuat atau disiarkan, diyakini tidak akan menimbulkan dampak negatif bagi media massa yang bersangkutan ataupun masyarakat luas serta pemerintah. Berita yang ada di dalam surat kabar biasanya memakai unsur 5W+1H (1S) dengan pertimbangan khalayak pembaca yang dilayani oleh surat kabar tersebut lebih heterogen.
Sejalan dengan Sumadiria, Djuraid (2007: 69), mengatakan pelajaran dasar menulis berita dimulai dengan pengenalan bagian berita yang sangat populer yaitu, 5W+1H (what, where, when, who, why, dan how). Menurutnya, dari bahan-bahan yang sudah didapatkan dipilah-pilah dan disesuaikan dengan unsur 5W+1H. Dengan demikian, akan muncul gambaran tentang kerangka berita yang akan ditulis. Berikut ini adalah penjabaran dari masing-masing unsur berita.

(1) Unsur what atau apa yang terjadi. Faktor yang utama sebuah berita adalah peristiwa atau keadaan.
(2) Unsur where atau dalam istilah kriminal disebut dengan TKP (Tempat Kejadian Perkara) yaitu, tempat peristiwa atau keadaan.
(3) Unsur when atau waktu sebuah peristiwa atau keadaan terjadi. Keadaan waktu itu bisa disebut dengan pagi, siang, malam, atau sore. Jika ingin lebih rinci bisa juga disebutkan dengan menambahkan jam, menit, sampai detiknya.
(4) Unsur who atau tokoh yang menjadi pemeran utama dalam berita. Tokoh dalam berita adalah orang yang paling tahu dan berperan penting dalam peristiwa tersebut.
(5) Unsur why atau pertanyaan untuk menguak mengapa sebuah peristiwa itu terjadi. Pertanyaan ini bisa dikembangkan menjadi bahan berita selanjutnya. Sebab dari penyebab ini akan banyak diketahui banyak hal di balik sebuah peristiwa.
(6) Unsur how adalah pertanyaan untuk mengetahui keadaan bagaimana sebuah peristiwa terjadi, termasuk akibat yang ditimbulkan.

Membuat kalimat dan merangkainya menjadi sebuah berita yang layak untuk diberikan kepada masyarakat luas, justru menjadi masalah yang pelik bagi para wartawan pemula. Dibutuhkan data yang lengkap untuk memudahkan membuat rangkaian kalimat menjadi sebuah berita, maka pemahaman tentang 5W+1H sangat penting agar bisa menentukan prioritas, mana di antara bagian-bagian itu yang akan ditonjolkan.
Menurut Darmadi, dkk. (2006: 25), seorang penulis saat menulis berita dapat memakai formula 5W+1H dalam teras berita dan dilanjutkan penjelasannya pada tubuh berita. Dengan demikian, wartawan akan menulis berita yang dimulai dari hal terpenting.
Sebuah berita juga akan menarik apabila mengedepankan sebuah fakta dan tidak mencantumkan pendapat atau opini pribadi di dalamnya. Fakta menjadi penting karena sebagai tolok ukur kebenaran sebuah pemberitaan bila dipandang dari segi penulisannya. Oleh sebab itu, penulis berita harus mampu memisahkan secara tegas antara fakta dan opini di dalam penulisan sebuah berita.


c. Klasifikasi Berita
Berita dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori yaitu, berita berat (hard news) berarti berita yang menunjuk pada peristiwa yang mengguncangkan dan menyita perhatian banyak orang atau pembaca. Berita ringan (soft news) adalah berita yang menunjuk pada peristiwa yang lebih bertumpu pada unsur-unsur ketertarikan manusiawi. Selain itu, berita juga dikategorikan berdasarkan beberapa hal antara lain, berita menurut lokasi peristiwanya yaitu, di tempat terbuka dan tertutup. Berita berdasarkan sifatnya yaitu, berita diduga dan berita tak diduga. Menurut Djuraid (2007: 44-66), ada tujuh jenis berita diantaranya adalah sebagai berikut:

(1) berita politik yaitu, berita mengenai berbagai macam aktifitas politik yang dilakukan para pelaku politik di partai politik, lembaga legislatif, pemerintahan, dan masyarakat secara umum;
(2) berita ekonomi yaitu, berita yang memiliki segmen yang jelas, para pebisnis, para pengambil kebijakan, dan para pelaku dunia usaha;
(3) berita kriminal yaitu, berita ini biasanya berisi tentang pembunuhan, perkosaan, perampokan, dan tindakan kekerasan yang lainnya;
(4) berita olahraga yaitu, berita seputaran dunia sepak bola, biasanya memiliki daya tarik tersendiri bagi para pembaca. Biasanya semua koran menempatkan berita olahraga dalam halaman khusus dengan tampilan yang menarik;
(5) berita seni, hiburan, dan keluarga yaitu, berita yang berisi tentang musik, film, TV, dan semua yang berkaitan dengan kehidupan para selebritis;
(6) berita pendidikan yaitu, berita yang berkaitan tentang semua masalah dan perkembangan pendidikan;
(7) berita pemerintahan yaitu, berita yang meliput tentang aktifitas di pemerintahan.

sepi



Tubuhku bagai serpihan kaca
Yang tak lagi utuh
Jiwa dan ragaku tak lagi menyatu
Dalam badanku

Lukisan hidupku pudar
Seiring pandang mataku
Binar mataku yang termakan waktu
Tak sisakan secarik cerita
Tentang senyum kecupan mentari
Yang tak lagi bisa kunikmati

Ranjang reot yang berbunyi
Pengganti kehangatan tubuh kekasihku
Kelambu dan selimut berlumut
Yang kini setia memberi aroma di badanku
Hingga semakin terasa gelap di sekelilingku
Dan ranjang tak lagi berbunyi




Made Shelly Nilayati

Entri Populer